LENSAPRIANGAN.COM – Sejumlah petani muda dari berbagai daerah di Indonesia mendapatkan pelatihan khusus mengenai gas rumah kaca (GRK).
Pelatihan khusus itu digelar di satu hotel kawasan wisata Pantai Pangandaran, Jawa Barat, Senin (8/12/2025).
Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kapasitas petani dalam memahami, menghitung, serta menurunkan emisi dari aktivitas pertanian dan peternakan.
Direktur JAMTANI, H. Kustiwa Adinata, mengatakan, pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari program kompetisi proposal yang sebelumnya diikuti 12 petani muda dari seluruh Indonesia.
Dari enam pemenang terpilih, di antaranya berasal dari Pangandaran, serta perwakilan dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
“Tujuan, memastikan para pemenang, khususnya dari wilayah dampingan JAMTANI di Sumatera dan Jawa, benar-benar mengimplementasikan program penurunan emisi sesuai proposal mereka.”
“Kami ingin memastikan komponen pengurangan gas rumah kaca benar-benar diterapkan,” tegasnya, Senin (8/12/2025).
Untuk itu, JAMTANI menyiapkan sejumlah tim monitoring terdiri dari internal JAMTANI, mahasiswa pascasarjana Universitas Siliwangi, mahasiswa S3 UNSIL dan UNPAD Bandung, serta perwakilan yayasan mitra JAMTANI di Sumatera.
Tim ini bertugas memastikan penerapan program dan melakukan pemantauan di lapangan.
Pelatihan pun mencakup pengenalan sistem perhitungan emisi berbasis web, penyusunan format monitoring GRK, hingga metode pencatatan data emisi secara mandiri.
“Yang paling penting adalah peningkatan kapasitas agar para petani maupun staf bisa melakukan replikasi pengetahuan ini ke kelompok lain,” kata Kustiwa.
GHG Konsultan sekaligus dosen Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi, Indra Permana, menyebut bahwa banyak petani belum memahami bahwa aktivitas pertanian juga dapat menghasilkan gas rumah kaca.
Melalui pelatihan ini, peserta mempelajari sumber-sumber emisi dari sektor pertanian dan peternakan serta cara menghitungnya menggunakan GHG Kalkulator.
Harapannya, para petani mempunyai inovasi agar usaha mereka menghasilkan emisi lebih rendah dibandingkan sebelumnya.
“Misalnya, mengurangi penggunaan pupuk sintetis seperti urea dan NPK yang tinggi emisi, lalu menggantinya dengan pupuk organik dari kotoran hewan atau jerami yang dikomposkan,” ungakap Indra.
Konsultan IT, Oktavia Rahmat, menyebut bahwa sistem pencatatan menjadi kunci untuk mengetahui perkembangan emisi dari waktu ke waktu.
Melalui metode kalkulator dan pendataan yang rapi, petani dapat mengetahui posisi awal emisi, perubahan produksi, hingga apakah terjadi pengurangan emisi selama proses budidaya berlangsung.
“Dengan pencatatan yang baik, setiap petani bisa mengetahui riwayat data emisinya dan melakukan evaluasi terhadap praktik pertanian atau peternakan yang dijalankan,” paparnya. ***






